Assalamualaikum wr.wb
Pancasila pada dasarnya memiliki
sejarah. Pancasila memiliki daftar sejarah yang panjang. Pancasila sebagai
dasar negara Indonesia dan ideologi negara Indonesia. Pancasila memiliki 5
butir yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan dan perwakilan
5.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Tulisan
ini menggambil sila pertama yaitu “ Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dimana bahwa
setiap manusia yang hidup di dunia memiliki hak untuk memeluk agamanya serta
percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan agama dan kepercayaan
masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam
perundang-undangan Indonesia juga diatur tentang Negara berdasarkan konsep
ketuhanan dan kebebasan dalam memeluk agama yang dipilih UUD tersebut berada
pada Pasal 29 ayat 1 yang berbunyi “Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan pasal 29 ayat 2 yang berbunyi
“ Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaan itu”.
Di Indonesia terdapat 5 agama, seperti:
1. Islam
2. Kristen
3. Katolik
4. Hindu
5. Budha
Karena saya sebagai penulis adalah
seorang muslim maka saya akan membahas tentang agama Islam tentang ke Esa an
Allah. Surat Al-Ikhlas
“Katakanlah” – Hai
Utusan-Ku- “Dia adalah Allah, Maha Esa.” (ayat 1). Inilah pokok pangkal akidah,
puncak dari kepercayaan. Mengakui bahwa yang dipertuhan itu ALLAH nama-Nya. Dan
itu adalah nama dari Satu saja. Tidak ada Tuhan selain Dia. Dia Maha Esa,
mutlak Esa, tunggal, tidak bersekutu yang lain dengan Dia.
Pengakuan atas
Kesatuan, atau Keesaan, atau tunggal-Nya Tuhan dan nama-Nya ialah Allah, kepercayaan
itulah yang dinamai TAUHID. Berarti menyusun fikiran yang suci murni, tulus
ikhlas bahwa tidak mungkin Tuhan itu lebih dari satu. Sebab Pusat Kepercayaan
di dalam pertimbangan akal yang sihat dan berfikir teratur hanya sampai kepada
SATU.
Tidak ada yang
menyamai-Nya, tidak ada yang menyerupai-Nya dan tidak pula ada teman hidup-Nya.
Karena mustahillah kalau Dia lebih dari satu. Karena kalau Dia berbilang,
terbahagilah kekuasaan-Nya. Kekuasaan yang terbagi, artinya sama-sama kurang
berkuasa.
“Allah adalah
pergantungan.” (ayat 2). Artinya, bahwa segala sesuatu ini adalah Dia yang
menciptakan, sebab itu maka segala sesuatu itu kepada-Nyalah bergantung. Ada
atas kehendak-Nya.
Kata Abu Hurairah:
“Arti Ash-Shamadu ialah segala sesuatu memerlukan dan berkehendak
kepada Allah, berlindung kepada-Nya, sedang Dia tidaklah berlindung kepada
sesuatu jua pun.
Husain bin Fadhal
mengartikan: “Dia berbuat apa yang Dia mau dan menetapkan apa yang Dia
kehendaki.”
Muqatil mengartikan:
“Yang Maha Sempurna, yang tidak ada cacat-Nya.”
“Tidak Dia beranak,
dan tidak Dia diperanakkan.” (ayat 3).
Mustahil Dia beranak.
Yang memerlukan anak hanyalah makhluk bernyawa yang menghendaki keturunan yang
akan melanjutkan hidupnya. Seseorang yang hidup di dunia ini merasa cemas kalau
dia tidak mendapat anak keturunan. Karena dengan keturunan itu berarti hidupnya
akan bersambung. Orang yang tidak beranak kalau mati, selesailah sejarahnya
hingga itu. Tetapi seseorang yang hidup, lalu beranak dan bersambung lagi
dengan cucu, besarlah hatinya, karena meskipun dia mesti mati, dia merasa ada
yang menyambung hidupnya.
Oleh sebab itu maka
Allah Subhanahu wa Ta’ala mustahil memerlukan anak. Sebab Allah hidup terus,
tidak akan pernah mati-mati. Dahulunya tidak berpemulaan dan akhirnya tidak
berkesudahan. Dia hidup terus dan kekal terus, sehingga tidak memerlukan anak
yang akan melanjutkan atau menyambung kekuasaan-Nya sebagai seorang raja yang
meninggalkan putera mahkota.
Dan Dia, Allah itu,
tidak pula diperanakkan. Tegasnya tidaklah Dia berbapa. Karena kalau dia
berbapa, teranglah bahwa si anak kemudian lahir ke dunia dari ayahnya, dan
kemudian ayah itu pun mati. Si anak menyambung kuasa. Kalau seperti orang
Nasrani yang mengatakan bahwa Allah itu beranak dan anak itu ialah Nabi Isa
Almasih, yang menurut susunan kepercayaan mereka sama dahulu tidak bepermulaan
dan sama akhir yang tidak berkesudahan di antara sang bapa dengan sang anak,
maka bersamaanlah wujud di antara si ayah dengan si anak, sehingga tidak perlu
ada yang bernama bapa dan ada pula yang bernama anak. Dan kalau anak itu
kemudian baru lahir, nyatalah anak itu suatu kekuasaan atau ketuhanan yang
tidak perlu, kalau diakui bahwa si bapa kekal dan tidak mati-mati, sedang si
anak tiba kemudian.
“Dan tidak ada
bagi-Nya yang setara, seorang jua pun.” (ayat 4). Keterangan: Kalau diakui Dia
beranak, tandanya Allah Tuhan itu mengenal waktu tua. Dia memerlukan anak untuk
menyilihkan kekuasaan-Nya.
Kalau diakui
diperanakkan, tandanya Allah itu pada mulanya masih muda yaitu sebelum bapa-Nya
mati. Kalau diakui bahwa Dia terbilang, ada bapa ada anak, tetapi kedudukannya
sama, fikiran sihat yang mana jua pun akan mengatakan bahwa “keduanya” akan
sama-sama kurang kekuasaannya. Kalau ada dua yang setara, sekedudukan, sama
tinggi pangkatnya, sama kekuasaannya atas alam, tidak ada fikiran sihat yang
akan dapat menerima kalau dikatakan bahwa keduanya itu berkuasa mutlak. Dan
kalau keduanya sama tarafnya, yang berarti sama-sama kurang kuasa-Nya, yakni
masing-masing mendapat separuh, maka tidaklah ada yang sempurna ketuhanan
keduanya. Artinya bahwa itu bukanlah tuhan. Itu masih alam, itu masih lemah.
Yang Tuhan itu ialah
Mutlak Kuasa-Nya, tiada berbagi, tiada separuh seorang, tiada gandingan, tiada
bandingan dan ada tiada tandingan. Dan tidak pula ada tuhan yang nganggur,
belum bertugas sebab bapanya masih ada!
Itulah yang diterima
oleh perasaan yang bersih murni. Itulah yang dirasakan oleh akal cerdas yang
tulus. Kalau tidak demikian, kacaulah dia dan tidak bersih lagi. Itu sebabnya
maka Surat ini dinamai pula Surat Al-Ikhlas, artinya sesuai dengan jiwa murni
manusia, dengan logika, dengan berfikir teratur.
Tersebutlah di dalam
beberapa riwayat yang dibawakan oleh ahli tafsir bahwa asal mula Surat ini
turun: “Shif lanaa rabaka” ialah karena pernah orang musyrikin itu meminta
kepada Nabi (Coba jelaskan kepada kami apa macamnya Tuhanmu itu, emaskah dia
atau tembaga atau loyangkah?).
Menurut Hadis yang
dirawikan oleh Termidzi dari Ubay bin Ka’ab, memang ada orang musyrikin meminta
kepada Nabi supaya diuraikannya nasab (keturunan atau sejarah) Tuhannya itu.
Maka datanglah Surat yang tegas ini tentang Tuhan.
Abus Su’ud berkata
dalam tafsirnya: “Diulangi nama Allah sampai dua kali (ayat 1 dan ayat 2)
dengan kejelasan bahwa Dia adalah Esa, Tunggal, Dia adalah penggantungan segala
makhluk, supaya jelaslah bahwa yang tidak mempunyai kedua sifat pokok itu
bukanlah Tuhan. Di ayat pertama ditegaskan Keesaan-Nya, untuk menjelaskan
bersih-Nya Allah dari berbilang dan bersusun, dan dengan sifat Kesempurnaan Dia
tempat bergantung, tempat berlindung; bukan Dia yang mencari perlindungan
kepada yang lain, Dia tetap ada dan kekal dalam kesempurnaan-Nya, tidak pernah
berkurang. Dengan penegasan “Tidak beranak”, ditolaklah kepercayaan setengah
manusi bahwa malaikat itu adalah anak Allah atau Isa Almasih adalah anak Allah.
Tegasnya dari Allah itu tidak ada timbul apa yang dinamai anak, karena tidak
ada sesuatu pun yang mendekati jenis Allah itu, untuk jadi jodoh dan “teman
hidupnya”, yang dari pergaulan berdua timbullah anak.” – Sekian Abus Su’ud.
Imam Ghazali menulis
di dalam kitabnya “Jawahirul-Qur’an” : “Kepentingan Al-Qur’an itu ialah untuk
ma’rifat terhadap Allah dan ma’rifat terhadap hari akhirat dan ma’rifat
terhadap Ash-Shirathal Mustaqim. Ketiga ma’rifat inilah yang sangat
utama pentingnya. Adapun yang lain adalah pengiring-pengiring dari yang tiga
ini. Maka Surat Al-Ikhlas adalah mengandung satu daripada ma’rifat yang tiga
ini, yaitu Ma’rifatullah, dengan memberishkan-Nya, mensucikan fikiran
terhadap-Nya dengan mentauhidkan-Nya daripada jenis dan macam. Itulah yang
dimaksud bahwa Allah bukanlah pula bapa yang menghendaki anak, laksana pohon.
Dan bukan diperanakkan, laksana dahan yang berasal dari pohon, dan bukan pula
mempunyai tandingan, bandingan dan gandingan.”
Ibnul Qayyim menulis
dalam Zaadul Ma’ad: “Nabi SAW selalu membaca pada sembahyang Sunnat Al-Fajar
dan sembahyang Al-Witir kedua Surat Al-Ikhlas dan Al-Kaafiruun. Karena kedua
Surat itu mengumpulkan Tauhid, Ilmu dan Amal, Tauhid Ma’rifat dan Iradat,
Tauhid I’tiqad dan Tujuan. Surat Al-Ikhlas mengandungi Tauhid I’tiqad dan
Ma’rifat dan apa yang wajib dipandang tetap teguh pada Allah menurut akal
murni, yaitu Esa, Tunggal. Naf’i yang mutlak daripada bersyarikat dan
bersekutu, dari segi mana pun. Dia adalah Pergantungan yang tetap, yang
pada-Nya terkumpul segala sifat kesempurnaan, tidak pernah berkekurangan dari
segi mana pun. Naf’i daripada beranak dan diperanakkan, karena kalau keduanya
itu ada, Dia tidak jadi pergantungan lagi dan Keesaan-Nya tidak bersih lagi.
Dan Naf’i atau tidaknya kufu’, tandingan, bandingan dan gandingan adalah
menafikan perserupaan, perumpamaan ataupun pandangan lain. Sebab itu makna
Surat ini mengandung segala kesempurnaan bagi Allah dan menafikan segala
kekuarangan. Inilah dia Pokok Tauhid menurut ilmiah dan menurut akidah, yang
melepaskan orang yang berpegang teguh kepadanya daripada kesesatan dan
mempersekutukan.
Itu sebab maka Surat
Al-Ikhlas dikatakan oleh Nabi Sepertiga Qur’an. Sebab Al-Qur’an berisi Berita
(Khabar) dan Insyaa. Dan Insyaa mengandung salah satu tiga pokok: (1) perintah,
(2) larangan, (3) boleh atau diizinkan. Dan Khabar dua pula: (1) Khabar yang datang
dari Allah sebagai Pencipta (Khaliq) dengan nama-nama-Nya dan hukum-hukum-Nya.
(2) Khabar dari makhluk-Nya, maka diikhlaskanlah oleh makhluk di dalam Surat
Al-Ikhlas tentang nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya, sehingga jadilah isinya
itu mengandung Sepertiga Al-Qur’an. Dan dibersihkannya pula barangsiapa yang
membacanya dengan Iman, daripada mempersekutukan Allah secara ilmiah.
Sebagaimana Surat Al-Kaafiruun pun telah membersihkan dari syirik secara amali,
yang timbul dari kehendak dan kesengajaan.” – Sekian Ibnul Qayyim.
Ibnul Qayyim
menyambung lagi: “Menegakkan akidah ialah dengan ilmu. Persediaan ilmu
hendaklah sebelum beramal. Sebab ilmu itu adalah Imam, penunjuk jalan, dan
hakim yang memberikan keputusan di mana tempatnya dan telah sampai di mana.
Maka “Qul Huwallaahu Ahad” adalah puncak ilmu tentang akidah. Itu seba maka
Nabi mengatakannya sepertiga Al-Qur’an. Hadis-hadis yang mengatakan demikian
boleh dikatakan mencapai derajat mutawatir. Dan “Qul Yaa Ayyuhal Kaafiruuna”
sama nilainya dengan seperempat Al-Qur’an. Dalam sebuah Hadis dari Termidzi,
yang dirawikan dari Ibnu Abbas dijelaskan: “Idzaa Zulzilatil Ardhu” sama
nilainya dengan separuh Al-Qur’an. “Qul Huwallahu Ahad” sama dengan sepertiga
Al-Qur’an dan “Qul Yaa Ayyuhal Kaafiruuna” sama nilainya dengan seperempat
Al-Qur’an.
Semoga bermanfaat
tulisan ini, mohon maaf banyak kesalahan dan kekurangan
Wassalamualaikum wr.wb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar