Ukuran Kemiskinan dan
Masalah Sosial di Jakarta
Sumber : http://202.158.52.213/read/kolom/2012/07/05/615/Ukuran-Kemiskinan-dan-Masalah-Sosial-di-Jakarta-
Tanggal: Kamis 5 Juli
2012
TEMPO.CO, Genderang kampanye
pemilihan Gubernur DKI Jakarta sudah ditabuh. Lima pasang calon gubernur-wakil
gubernur berlomba-lomba memoles diri menarik simpati warga Jakarta dengan
berbagai cara dari jualan citra, menebar janji-janji surga serta nenawarkan
berbagai program kebijakan untuk memperbaiki Kota Jakarta. Semua pasang calon
gubernur-wakil gubernur mengangkat isu yang hampir sama, berbagai isu usang
yang tak pernah kunjung padam seperti kemacetan, banjir dan permasalahan sosial
di Jakarta. Dari berbagai permasalahan sosial yang dihadapi oleh Jakarta, isu
kemiskinan masih menjadi bahan jualan yang cukup menarik bagi para calon gubernur
dan wakil gubernur.
Marilah kita semua
melihat isu kemiskinan di Jakarta bukan hanya kemiskinan absolut seperti yang
dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik tetapi juga ukuran kemiskinan lainnya.
Data statistik menunjukkan angka kemiskinan di Jakarta menurun dari 7.35% (2005),
4.61%(2007), menjadi 3.75% (2011). Angka kemiskinan ini dihitung dengan
menggunakan ukuran kemiskinan mutlak di mana seorang dinyatakan miskin jika
pengeluaran kurang dari Rp. 355.480/bulan/kapita pada tahun 2011. Sebuah batas
yang sangat rendah untuk hidup layak di Jakarta. Gubernur DKI Jakarta boleh
berbangga dan mengklaim bahwa Jakarta memiliki tingkat kemiskinan terendah di
Indonesia. Tetapi jika dibandingkan dengan keberhasilan daerah lain dalam
menurunkan angka kemiskinan, DKI Jakarta sangat tertinggal karena dalam 4 tahun
(2007-2011) hanya mampu menurunkan kemiskinan sebesar 0.86% atau 0.21%/tahun.
Di sisi lain,
kebanggaan dan klaim keberhasilan menurunkan angka kemiskinan hanyalah semu
belaka, karena dengan tingkat pendapatan perkapita sekitar Rp. 33,35
juta/kapita/tahun (2005) maka ukuran kemiskinan mutlak seharusnya sudah
ditinggalkan dan digantikan dengan ukuran kemiskinan yang bersifat relatif
maupun subyektif. Sen (1983) mengemukakan bahwa negara (daerah) yang sudah
mencapai kemakmuran tertentu sudah seharusnya fokus pada isu kemiskinan
relatif. Ukuran kemiskinan absolut/mutlak cocok untuk diterapkan di propinsi
seperti Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Papua atau daerah yang level
pembangunannya masih rendah, bukan daerah seperti Jakarta.
Apa itu kemiskinan relatif? Kemiskinan relatif
adalah kemiskinan yang dihitung dengan membandingkan pendapatan seseorang
dengan rata-rata pendapatan seluruh masyarakat di suatu wilayah. Seorang
dikatakan miskin jika pendapatannya kurang dari 0.5 dari rata-rata pendapatan
seluruh masyarakat. Berdasarkan perhitungan penulis dengan menggunakan data
Susenas 2005, angka kemiskinan relatif di DKI Jakarta adalah sebesar 41.31%,
sebuah angka kemiskinan relatif terbesar di Indonesia. Terlihat jelas dengan
menggeser ukuran kemiskinan dari ukuran mutlak menjadi ukuran relatif, angka
kemiskinan DKI Jakarta melonjak dari 7.37% menjadi 41.31%. Ukuran kemiskinan
relatif dapat dijadikan salah satu indikator ketimpangan pendapatan dalam
masyarakat dan juga indikator hidup layak seperti warga lain di lingkungan
sekelilingnya.
Isu kemiskinan relatif
ini sangat penting karena berkaitan langsung dengan isu masyarakat inklusif (inclusive
society) dan isu kerentanan sosial. Dua isu ini sangat penting bagi wilayah
yang memiliki keragaman etnis, sosial, budaya, ekonomi seperti DKI Jakarta.
Seorang yang miskin secara relatif akan tersingkir (teralineasi) dari pergaulan
dalam masyarakat, sehingga akan menimbulkan kecemburuan sosial dan pada
akhirnya mendorong kerentanan dan kerusuhan sosial. Sebagai contohnya seorang
yang berpenghasilan Rp 2 juta/bulan dan tinggal di wilayah yang rata-rata
memiliki penghasilan Rp 5 juta/bulan, maka orang tersebut akan merasa lebih
miskin dan tersingkir dari pergaulan dengan lingkungan sekitar karena tidak
memiliki kecukupan finansial. Kondisi ini mampu menciptakan ruang bagi
seseorang yang tersisih dari lingkungan pergaulan, karena permasalahan
finansial mengambil jalan pintas yang bertentangan dengan norma hukum seperti
pencurian, korupsi dan penggelapan.
Perhitungan penulis
menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan relatif berkaitan erat dengan tingkat
kriminalitas di suatu daerah. Satu persen kenaikan angka kemiskinan relatif
akan meningkatkan resiko kriminalitas sebesar 11 per 100.000 penduduk. Data
kepolisian tahun 2009 menunjukkan angka resiko kriminalitas di Jakarta adalah 2
kali lebih besar dibandingkan dengan rata-rata resiko kriminalitas di
Indonesia. Kombinasi kemacetan, stres warga ibukota, ketimpangan sosial dan
kriminalitas merupakan racikan dasyat bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu
di Jakarta.
Tantangan:
Siapapun yang akan terpilih menjadi Gubernur
DKI Jakarta pada Pilkada 2012, akan menghadapi kompleksitas permasalahan
perkotaan seperti kemacetan, banjir, isu lingkungan, serta isu sosial seperti
400 ribu warga Jakarta yang berada di bawah garis kemiskinan dan setengah dari
warga miskin tersebut berada dalam status rawan pangan. Di lain pihak,
permasalahan kemiskinan relatif yang sangat masif akan mudah menyulut
kecemburan dan friksi sosial antar warga masyarakat. Kombinasi kerawanan
pangan, kemiskinan dan kecemburan sosial, tingginya resiko kriminalitas di
Jakarta pada akhirnya akan mengurangi keamanan, kenyamanan dan keindahan
Jakarta sebagai Ibukota dan wajah Indonesia di mata dunia. Jakarta akan bangga
dengan gubernur yang bersahaja, mampu bekerja keras tanpa banyak citra dan kata
mewujudkan Jakarta Aman, Nyaman dan Ramah buat semua.
*) Teguh Dartanto, Peneliti, Lembaga
Penyeledikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi-Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar