Perebutan Kedaulatan Laut China Selatan
Oleh Asrudin (Tulisan
ini dimuat kolomJARINGNEWS ,
Selasa 17 Juli 2012)
Telah dipastikan, Kode
Etik Tata Perilaku atau Code of Conduct (CoC) di Laut China Selatan yang
menjadi isu utama dalam pembahasan ASEAN Ministerial Meeting (AMM) ke-45 yang
dilaksanakan pada 9-13 Juli 2012 lalu, di Phnom Penh, Kamboja, gagal
disepakati.
Para menteri luar
negeri kesepuluh negara ASEAN sejak Senin (9/7) lalu terus berdebat untuk
menghasilkan pernyataan diplomatik. Namun tidak berhasil menemui kesepakatan.
Kegagalan itu berarti menahan kemajuan pembahasan tentang tata perilaku, yaitu
aturan yang ditujukan untuk meredakan ketegangan dalam masalah Laut China
Selatan.
Terkait dengan hasil
itu, Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa yang memegang peran sebagai
mediator, menyatakan “kekecewaan yang sangat mendalam” atas tidak tercapainya
konsensus oleh ASEAN. Kekecewaan Marty tentu beralasan mengingat sebelumnya
para Menlu ASEAN sempat menyepakati elemen utama dari draft CoC yang akan
diberikan kepada China. Hari-hari diplomatik yang panas dalam pertemuan ASEAN
itu berakhir hari Jumat (13/7) lalu dengan kegagalan karena posisi
negara-negara ASEAN terhadap China terpecah dan untuk pertama kalinya dalam
sejarah, ASEAN gagal mengeluarkan pernyataan bersama.
Tanpa adanya CoC, tentunya
akan sulit bagi negara-negara yang bersengketa untuk menutup peluang terjadinya
konflik bersenjata di wilayah Laut China Selatan.
Problem Kedaulatan
Istilah konflik Laut
China Selatan merujuk pada gugusan kepulauan Paracels yang masih dipersengketakan
oleh tiga negara (China, Vietnam, dan Taiwan), dan kepulauan Spratly yang
dipersengkatakan oleh enam negara (China, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia,
dan Brunei). Namun, kepulauan Spratly merupakan titik api yang paling potensial
untuk berkembang menjadi wilayah konflik militer di masa depan, tidak saja
karena adanya tuntutan yang tumpang tindih yang melibatkan ke-enam negara,
tetapi juga karena kepentingan negara-negara besar (Jepang, AS, Rusia) di
perairan Laut China Selatan (Usman & Sukma, 1997).
China misalnya, selama
ini mengklaim kedaulatan di hampir seluruh wilayah Laut China Selatan. Pun
negara-negara ASEAN seperti Filipina, Vietnam, Malaysia dan Brunei Darussalam
juga turut mengklaim wilayah itu sebagai kedaulatannya. Celakanya wilayah ini juga
penting sebagai jalur layar internasional, yang membuat Amerika Serikat (AS),
Jepang, dan Rusia juga memiliki kepentingan perdagangan atas wilayah tersebut.
Bahkan Filipina dan China pada bulan lalu, sempat terlibat konflik bersenjata
di wilayah dekat Scarborough yang kaya akan minyak.
Dengan melihat pada
situasi tersebut, rupanya konflik Laut China Selatan terjadi karena
masing-masing negara yang bersengketa meyakini wilayah perairan tersebut adalah
bagian dari kedaulatannya. Identifikasi mengenai kedaulatan negara inilah yang
seringkali mengakibatkan perang terjadi.
Secara historis,
kedaulatan negara terbentuk secara mapan, ketika perjanjian damai Westphalia (the Peace of Westphalia) disepakati pada
1648. Kesepakatan Westphalia ini yang telah memprakarsai sebuah prinsip untuk
tidak saling mencampuri urusan negara lain. Prinsip itu dan kewajiban saling
mengakui adalah dua hal yang membuat negara menjadi berdaulat.
Untuk itu ketika terdapat
satu negara berdaulat yang menganggu wilayah negara berdaulat lainnya, maka
negara yang diganggu tersebut bisa dengan efektif menggunakan kemampuan militer
dan administrasinya untuk melakukan tindakan perlawanan. Jadi dimensi
internasional dari saling mengakui merupakan faktor utama bagi sebuah negara
untuk memperoleh monopoli dalam cara mengatasi kekerasan di wilayahnya sendiri.
Oleh sebab itu, jika terjadi pelanggaran atas kedaulatan negara, perang pun
dijadikan sebagai solusi dalam penyelesaiannya.
Problem kedaulatan ini
tentu menjadi persoalan pelik dalam penyelesaian konflik Laut China Selatan.
Apalagi negara yang bersengketa di wilayah tersebut melibatkan banyak negara.
Artinya problem kedaulatan adalah isu yang tidak akan pernah bisa diselesaikan.
Hal ini hanya bisa diselesaikan jika masing-masing negara yang bersengketa
memutuskan untuk berperang agar dapat menguasai perairan di laut China Selatan.
Jika merujuk pada apa
yang dikatakan oleh Deputi Sekretariat Wakil Presiden Bidang Politik, Dewi Fortuna
Anwar, maka “isu sengketa Laut China Selatan tidak akan bisa diselesaikan
sampai kiamat,” karena tidak akan ada satu negara yang mau memberikan satu
pulau pun yang dianggapnya merupakan bagian dari wilayah kedaulatannya.
Peran Indonesia
Diperkirakan konflik di
Laut China selatan ini tidak hanya berdampak pada dilanggarnya kedaulatan
negara yang bersengketa saja, tapi juga kepada kedaulatan Indonesia karena
wilayah yang disengketakan bersinggungan dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Indonesia di kepulauan Natuna. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu
didorong untuk memainkan perannya dalam menyelesaikan konflik di Laut China
Selatan (LCS) agar tidak terkena imbasnya.
Karena CoC di LCS
dipastikan gagal, maka Indonesia perlu memikirkan strategi jitu agar konflik
bersenjata di LCS dapat dihindari. Strategi itu bisa dilakukan dengan
memfasilitasi pembahasan dan dialog secara netral dan tidak memihak di antara
pihak-pihak yang memiliki klaim di Laut Cina Selatan melalui serangkaian
pertemuan informal.
Terkait dengan hal itu,
sesungguhnya Indonesia sudah memiliki formula bagus untuk dapat meredakan
ketegangan di LCS. Lokakarya (workshop) yang biasa dilakukan Indonesia dengan
program “Managing Potential Conflicts in the South China Sea,” yang sudah berlangsung
sejak tahun 1990 hingga 2011, dengan melibatkan para peserta dalam forum second
track dan dalam kapasitas pribadi, harus dipertahankan dan ditingkatkan
kegiatannya agar dialog dapat terus terjaga di antara negara yang bersengketa.
Hasil dialog seperti ini, ke depannya diharapkan, bisa menghasilkan orientasi
kebijakan yang dapat mendorong terbentuknya resolusi konflik.
Meski untuk sementara
waktu, pertemuan informal ini tidak akan menghasilkan resolusi dari konflik
yang melibatkan enam negara, tapi dialog seperti ini setidaknya dapat mengulur
waktu negara-negara yang bersengketa tersebut untuk mengurungkan niatnya
melakukan tindakan konfrontasi militer secara terbuka.
Penyelesaian
Konflik Laut China Selatan
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary
Clinton dan Menlu RI Marty Natalegawa mempunyai satu suara untuk menekankan
segera dilakukannya penyelesaian terhadap konflik Laut China Selatan di kawasan
regional Asia Tenggara.
"Negara-negara yang bersengketa harus bekerja sama untuk memecahkan masalah Laut China Selatan tanpa intimidasi. Amerika Serikat mendukung enam prinsip Laut China Selatan dan masalah tersebut harus diselesaikan berdasarkan Hukum Internasional dan Hukum Laut," kata Menlu Hillary Clinton dalam jumpa pers di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri RI, Jakarta, Senin. Dalam kunjungan keduanya ke Indonesia, Hillary menekankan perlunya pelaksanaan Code of Conduct Laut China Selatan dan memperingatkan agar jangan sampai ada pihak-pihak yang berusaha untuk meningkatkan ketegangan di kawasan tersebut dengan mengintimidasi dan mengklaim wilayah secara sepihak.
Hal senada juga diungkapkan oleh Menlu Marty Natalegawa ketika menerima kunjungan Menlu AS Hillary Clinton. "Mengenai Laut China Selatan, kami berpandangan bahwa kedua negara tetap memiliki pandangan yang serupa bahwa sengketa wilayah antar pihak-pihak terkait perlu diselesaikan secara damai dan melalui jalur diplomatik, berdasarkan prinsip-prinsip hukum internasional dan hukum laut," kata Menlu Marty Natalegawa. Menurut Marty, Indonesia dan AS menyadari pentingnya memelihara perdamaian dan stabilitas di kawasan Asia dan Pasifik sehingga dapat memelihara kesejahteraan dan kemajuan di kawasan.
Hillary dan Marty melanjutkan pembahasan sejumlah masalah dalam jamuan makan malah yang diadakan setelah jumpa pers di Kemenlu.Hillary dijadwalkan akan melakukan kunjungan kehormatan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Selasa pagi (4/9).
(A059)
"Negara-negara yang bersengketa harus bekerja sama untuk memecahkan masalah Laut China Selatan tanpa intimidasi. Amerika Serikat mendukung enam prinsip Laut China Selatan dan masalah tersebut harus diselesaikan berdasarkan Hukum Internasional dan Hukum Laut," kata Menlu Hillary Clinton dalam jumpa pers di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri RI, Jakarta, Senin. Dalam kunjungan keduanya ke Indonesia, Hillary menekankan perlunya pelaksanaan Code of Conduct Laut China Selatan dan memperingatkan agar jangan sampai ada pihak-pihak yang berusaha untuk meningkatkan ketegangan di kawasan tersebut dengan mengintimidasi dan mengklaim wilayah secara sepihak.
Hal senada juga diungkapkan oleh Menlu Marty Natalegawa ketika menerima kunjungan Menlu AS Hillary Clinton. "Mengenai Laut China Selatan, kami berpandangan bahwa kedua negara tetap memiliki pandangan yang serupa bahwa sengketa wilayah antar pihak-pihak terkait perlu diselesaikan secara damai dan melalui jalur diplomatik, berdasarkan prinsip-prinsip hukum internasional dan hukum laut," kata Menlu Marty Natalegawa. Menurut Marty, Indonesia dan AS menyadari pentingnya memelihara perdamaian dan stabilitas di kawasan Asia dan Pasifik sehingga dapat memelihara kesejahteraan dan kemajuan di kawasan.
Hillary dan Marty melanjutkan pembahasan sejumlah masalah dalam jamuan makan malah yang diadakan setelah jumpa pers di Kemenlu.Hillary dijadwalkan akan melakukan kunjungan kehormatan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Selasa pagi (4/9).
(A059)
Editor: Ruslan Burhani
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar